[ad_1]

BAYI berusia tiga minggu bernama Theo tampak tertidur pulas di boksnya. Ia tidak sadar tengah membantu para ilmuwan menguji teknologi medis yang berpotensi mengubah hidup banyak anak di masa depan.
Di Rumah Sakit Rosie, Cambridge, peneliti Dr Flora Faure dengan hati-hati memasangkan sebuah topi hitam kecil di kepala Theo. Sekilas mirip topi renang, alat ini dilengkapi tonjolan berbentuk heksagonal yang berisi teknologi untuk memantau aktivitas otak bayi.
Tim peneliti di rumah sakit tersebut menjadi yang pertama di dunia menguji metode baru yang dapat mempercepat diagnosis dan perawatan anak-anak dengan kondisi seperti cerebral palsy, epilepsi, dan gangguan belajar. Teknologi ini diperkirakan dapat digunakan di rumah sakit-rumah sakit Inggris dalam satu dekade mendatang.
“Ini pertama kalinya cahaya dan ultrasonik digunakan bersamaan untuk memberikan gambaran otak yang lebih lengkap,” ujar Dr Faure dari studi Fusion (Functional UltraSound integrated with Optical Imaging in Neonates).
Cedera otak pada bayi baru lahir merupakan salah satu penyebab utama disabilitas seumur hidup. Kondisi ini dapat mengganggu komunikasi antara otak dan tubuh, menyebabkan gangguan seperti kejang akibat epilepsi atau masalah pergerakan pada cerebral palsy. Sekitar lima dari setiap 1.000 bayi mengalami cedera otak, dan metode pemantauan yang ada saat ini masih kesulitan memprediksi dampak jangka panjangnya.
“Sensor cahaya memantau perubahan kadar oksigen di permukaan otak, sementara ultrasonik berfungsi memvisualisasikan pembuluh darah kecil di bagian dalam otak,” ujar Dr Faure menjelaskan cara kerja alat ini.
Keunggulan alat ini adalah sifatnya yang portabel. Sehingga pemantauan dapat dilakukan langsung di boks bayi tanpa harus dibawa ke ruang pemindaian.
Konsultan bedah saraf Dr Alexis Joannides menjelaskan, alat baru ini menawarkan kelebihan dibandingkan pemindaian MRI atau ultrasonik kranial (CUS). “MRI terbatas karena biaya dan ketersediaan jadwal. Selain itu, prosesnya memakan waktu dan tidak memungkinkan pemeriksaan berulang, padahal otak bayi bisa berubah setiap hari,” katanya.
Dengan alat ini, pemeriksaan dapat dilakukan lebih sering untuk mendeteksi masalah sejak dini, sehingga terapi bisa dimulai lebih cepat.
Pendiri lembaga amal Action Cerebral Palsy, Amanda Richardson, menyambut baik penelitian ini. “Bagi banyak anak dengan cerebral palsy, proses menuju diagnosis bisa memakan waktu bertahun-tahun. Teknologi seperti ini bisa membuat perbedaan besar,” ujarnya.
Peneliti senior Prof Topun Austin, Direktur Pusat Pencitraan Perinatal Evelyn di Universitas Cambridge, menjelaskan studi Fusion bertujuan mengembangkan sistem pemantauan aktivitas otak bayi di sisi tempat tidur. “Kami telah berhasil membuktikan konsep ini selama 12 bulan dengan bantuan bayi sehat dan prematur, dan kini fokus pada bayi dengan risiko tinggi cedera otak,” jelasnya.
Sementara itu, ibu Theo, Stani Georgieva, merasa bangga bisa berkontribusi. “Kami berdua ilmuwan, dan ketika Theo tumbuh nanti, dia akan merasakan manfaat dari hasil penelitian ini. Karena itu kami ingin dia menjadi bagian kecil dari prosesnya,” katanya.
Dr Joannides menambahkan bahwa jika hasilnya sukses, perangkat ini bisa mulai dievaluasi secara luas dalam tiga hingga lima tahun ke depan. “Jika biayanya memungkinkan, alat ini tidak hanya digunakan untuk bayi dengan masalah yang sudah diketahui, tapi juga sebagai alat skrining bagi yang berisiko,” ujarnya. (BBC/Z-2)
[ad_2]
